Senin, 22 Oktober 2012

Implementasi Six Sigma di Industri Jasa

(managementfile – quality) – Six Sigma merupakan metodologi yang awalnya dipopulerkan oleh Motorola pada tahun 80-an untuk melakukan quality improvement. Setelah itu, sejumlah perusahaan besar lain turut mengimplementasikannya, termasuk General Electric, Ford Motor, dan 3M.

Sebagian besar perusahaan yang mengimplementasikan Six Sigma adalah perusahaan manufaktur, sehingga terjadi suatu miskonsepsi bahwa metode ini hanya bisa digunakan oleh industri manufaktur saja. Hanya karena dalam industri jasa tidak ada ukuran berupa produk yang cacat, bukan berarti Six Sigma tidak dapat diimplementasikan disana.

Perbedaaan Six Sigma pada Industri Manufaktur dan Jasa
Pada industri manufaktur, pada umumnya ukuran yang dilihat adalah dari jumlah produk yang cacat. Dalam produk jasa, tidak bisa saklek seperti itu, karena industri jasa seringkali tidak menghasilkan produk.

Dalam industri jasa, proses yang diukur adalah people process karena memang itu adalah yang menjadi komponen utama dari industri jasa. Intinya, defect dalam industri jasa adalah masalah yang menyebabkan penurunan dalam hal kualitas atau mengakibatkan pelanggan tidak puas.

Misalnya, dalam industri perbankan: lamanya durasi untuk membuka rekening, atau lamanya suatu pinjaman cair, lamanya pemrosesan statement, dan sebagainya.


Tahapan Six Sigma
Proses Six Sigma pada industri jasa pada dasarnya punya tahapan yang sama seperti di industri manufaktur, yakni menggunakan DMAIC pula.
1. Define, yakni melakukan identifikasi mengenai apa saja yang masuk ke dalam kategori defect.
2. Measure, mengumpulkan data mengenai tingkat defect yang terjadi. Misalnya, dengan membuat Pareto chart.
3. Analyze, yakni menganalisa factor-faktor yang menyebabkan defect tersebut
4. Improve, yakni melakukan process improvement dalam untuk menghilangkan defect
5. Control, mengontrol berjalannya proses dan mencegah supaya defect tidak muncul kembali

Contoh dari implementasi Six Sigma di industri jasa, adalah seperti yang pernah dilakukan Citibank. Citibank menerapkan Citibank Cross-Functional Performance Challenge dalam divisi-divisinya menggunakan metodologi Six Sigma untuk mengidentifikasi defect, kemudian CFPM (Cross-Functional Process Mapping) untuk membuat map mengenai langkah-langkah perbaikan, kemudian memberikan empowerment terhadap tim untuk melakukannya.

Pada intinya, CFPM ini bertujuan untuk menghilangkan aktivitas-aktivitas yang kurang menghasilkan nilai, serta tidak sesuai dengan tujuan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. CFPM yang dilakukan Citibank melibatkan suatu tim global cross-functional yang terdiri dari 80 orang.

Berikut ini adalah tahapan dari CFPM seperti yang dilakukan Citibank

1. Planning
• Tentukan proses-proses mana saja yang perlu untuk ditingkatkan
• Identifikasi senior champion, steering committee, team leader dan fasilitator
• Bentuk tim yang terdiri dari karyawan terbaik dari seluruh unit utama untuk melakukan redesain proses

2. “As Is Session
• Melakukan mapping mengenai proses yang terjadi saat ini
• Mengidentifikasi masalah yang merupakan aktivitas yang menghabiskan banyak waktu dan mengakibatkan ketidakpuasan pelanggan

3. Involve Others
• Berdiskusi dengan rekan kerja
• Melakukan verifikasi terhadap akurasi dari map process yang telah dibuat sebelumnya
• Identifikasi solusi terhadap masalah, dan tekankan kebutuhan akan suatu perubahan

4. “Should Be” Session
• Menciptakan suatu model “should be” yang lebih baik dan lebih cepat, dibandingkan dengan kondisi pada “as is”, tanpa harus menambahkan orang atau pengeluaran
• Menentukan serangkaian aktivitas yang dapat menciptakan “should be” serta panduannya

5. Detailed Design and Implementation
• Menciptakan item-item tindakan yang perlu dilakukan dengan segenap anggota organisasi
• Membuat project plan. Team leader mengelola timnya lewat pertemuan rutin. Selain itu, diciptakan pula system reward dan recognition.

Supaya CFPM dapat bekerja dengan baik, maka harus terdapat komitmen yang kuat dari seluruh anggota organisasi, di level manapun. Setiap orang perlu berlaku sebagai pemimpin. CFPM ini bersifat cross-functional, yakni melibatkan anggota tim kunci dalam proyek. Sehingga, CFPM memberikan empowerment kepada mereka, karena kemudian mereka dapat melakukan perbaikan dalam divisinya sendiri, sehingga kemudian dapat mengubah pula corporate culture.

sumber: http://www.managementfile.com

0 komentar:

Posting Komentar